Hakim Konstitusi Perempuan Pertama

* Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi Perempuan Pertama

Lanjutkan Ritual Baca hingga Setengah Satu Malam

Maria Farida Indrati mencatat sejarah sebagai wanita pertama yang menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi (MK). Ibu tiga anak itu tidak mau diperlakukan sekadar sebagai pelengkap.

------------------

IBNU YUNIANTO-ANGGIT, Jakarta

-----------------------

TUBUHNYA yang mungil seperti timbul tenggelam saat berdiri di kerumunan tubuh-tubuh tinggi besar di ruang utama Istana Negara akhir pekan lalu. Kontras dengan penampilan fisiknya, suaranya tegas dengan irama yang diayun. Gaya khas profesor saat di depan kelas memberikan kuliah kepada para mahasiswanya.

Maria sebelumnya tidak pernah berpikir akan menjadi hakim konstitusi. Apalagi hakim MK periode 2008–2013 akan menghadapi tugas berat. Salah satunya menyelesaikan sengketa pemilu. ”Tetapi, teman-teman di kampus (UI) mendorong saya mengutamakan kepentingan bangsa. Menurut mereka, MK butuh perempuan yang paham konstitusi. Karena itu, saya mantap ikut seleksi,” katanya.

Meski sebagai pakar hukum dia terlatih berbicara lugas dan formal, wanita kelahiran Solo 59 tahun yang lalu itu selalu ingin tampil ramah.

Tawa kecil dan senyum lebar selalu mengiringi setiap kalimat yang disampaikan meski tengah berbicara materi-materi berat filsafat hukum dan politik perundang-undangan.

Maria memang layak jadi perhatian. Bukan saja karena dia hakim konstitusi perempuan (di antara sembilan hakim) pertama. Tapi, guru besar bidang ilmu perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu juga diakui sebagai salah satu pakar penyusunan konstitusi dan perundang-undangan. Dia adalah mantan anggota Tim Perumus dan Penyelaras Komisi Konstitusi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Alumnus program doktoral Ilmu Hukum Universitas Indonesia itu juga rendah hati. Ketika Jawa Pos meminta waktu wawancara di sela ramah-tamah dengan para pejabat tinggi negara, Maria tidak ragu memenuhinya. Dia rela menyingkir dan meninggalkan keluarga yang mengajaknya berfoto bersama dengan latar belakang aula utama Istana Negara.

Perempuan yang mendalami teknik perundang-undangan (legal drafting) di Universitas Leiden, Belanda, dan Boston School of Law, Amerika, serta pembentukan perundang-undangan di Vrije Universiteit itu mengaku koleganya gembira karena akhirnya dia dilantik menjadi hakim konstitusi.

Tentang perlunya kehadiran sosok perempuan di MK yang selama ini didominasi laki-laki itu, Maria punya argumen menarik. ”Katanya untuk memperhalus MK. Putusan (MK) memang harus tegas. Tetapi, dalam prosesnya, kan bisa ada perspektif yang lebih luas lagi dari perempuan,” ujarnya.

Kehadiran Maria di MK sangat penting. Terutama saat menghadapi uji materi UU yang bersifat sosial, seperti UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, UU Kesehatan, serta UU Pornografi dan Pornoaksi. ”Keputusan hakim kan tidak hanya melihat masalah pasal-pasal di konstitusi, tetapi kita juga melihat filsafat hukumnya dan politis hukum. Yang lebih penting constitutional protection-nya,” katanya.

Ibunda Maria Ayu Prabha Ardhanastri (27); Albertus Bagus Jati Tyas Seta (26); dan Nicolaus Aji Kusuma Rah Utama (24), itu menyatakan gembira bisa bergabung dengan MK. Alasannya, putusan MK selalu berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. ”Kalau soal adil atau tidak adil suatu putusan, itu tergantung perspektif pihak mana. Keadilan itu kan relatif,” katanya.

Maria tidak menampik penilaian bahwa ada hal-hal yang perlu dibenahi di MK. Terutama kritik bahwa MK mengingkari prinsip nemo judex in causa sua atau mengadili hal yang menjadi kepentingan sendiri. Kritik itu muncul karena MK menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak tunduk pada pengawasan Komisi Yudisial (KY). ”Memang ada hal-hal yang perlu dibenahi karena konstitusi dan undang-undang kan produk politik. Yang penting imparsialitas (prinsip tidak berpihak) tetap dijaga,” kata dia.

Meski dikenal sebagai salah satu pakar penyusunan undang-undang, Maria mengatakan masih harus banyak belajar tentang tugas barunya. Kata dia, tugas terberat MK adalah mengurus sengketa pemilu, Maria pun belajar keras untuk memahami UU Pemilu. ”Jujur saya belum menguasai sepenuhnya karena ini undang-undang baru. Karena itu, saya mesti belajar dulu delapan bulan ke depan,” katanya.

Putri pasangan Raden Petrus Hendro-Veronica Sutasmi itu siap mengambil peran dalam setiap pengambilan keputusan MK. Dia tidak ingin posisinya di Mahkamah Konstitusi hanya bermotif gender alias sebagai pelengkap delapan hakim konstitusi pria. ”Sejak kecil, saya terbiasa tidur setengah satu malam untuk belajar setiap hari. Ini juga yang akan saya lakukan untuk mempelajari seluruh aspek undang-undang yang belum saya kuasai,” ujarnya.

Istri Soeparto tersebut juga bertekad menjadi hakim konstitusi perempuan yang sejajar dengan hakim-hakim konstitusi yang bereputasi internasional pada setiap putusannya. Misalnya, Dr Christine Hohmann-Dennhardt, Prof Gertrude Lübbe-Wolff, dan Prof Lerke Osterloh dari Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht), Brigitte Bierlein, dan Lisbeth Lass.

Selain itu, ada Eleonore Berchtold-Ostermann dan Claudia Kahr dari MK Austria (Verfassungsgerichtshof), serta Yvonne Mokgoro, Bess Nkabinde-Mmono, dan Kate O'Regan dari MK Afrika Selatan.

Maria yang dikukuhkan sebagai guru besar ilmu hukum UI pada Maret 2007 juga menganggap dunia akademis sebagai hobi dan bagian dari darah yang mengalir di tubuhnya. Karena itu, meski telah menjadi hakim konstitusi, dia tetap mengajar di almamaternya. ”Tetapi, saya batasi (mengajar) hanya hari Jumat dan Senin karena saya dengar di dua hari itu kosong (tak ada rapat) di MK. Jadi, kecuali ada sidang, saya pasti masih mengajar dan memberikan bimbingan kepada mahasiswa,” katanya.

Selain mengajar, perempuan yang semasa kecil tinggal di asrama Sekolah Rakyat Santa Maria (karena sekolahnya jauh dari rumah) itu mengaku menemukan kegembiraan ketika menyanyi. ”Semua lagu saya suka. Tetapi, lagu-lagu Broery Marantika amat berkesan bagi saya,” tuturnya.

Di kolese itu, Maria menemukan salah seorang tokoh panutannya, Suster Monica, yang kini menjadi salah satu suster di RS Panti Rapih, Jogjakarta. ”Suster Monica memberikan panduan semangat hidup, yakni berani dan tekun,” katanya.(el)

Comments