Kemajuan Negara Seribu Tuhan (4)
Mengikis Kasta dengan Momentum Ekonomi
(Oleh Bos Dahlan)
KAPANKAH sistem sosial yang masih berkasta-kasta akan berakhir di India? Sehingga, kemajuan ekonominya yang pesat beberapa tahun terakhir ini bisa lebih cepat lagi?
Sistem kasta memang masih sangat terasa dan menghambat kemajuan di India. Namun, sebenarnya sudah banyak juga berubah. Di kota-kota besar sudah lebih tidak terasa. Tapi, di kota kecil, apalagi di pedesaan, perubahan terjadi seperti kalau saya membaca email dalam bahasa Mandarin: sangat lambat.
Kemajuan telah terbukti bisa membawa harapan. Harapan membawa optimisme warganya. Kemajuan, harapan, dan optimisme ketika menjadi satu akan melahirkan percepatan kemajuan. Sistem kasta pun kelak akan terlindas oleh kemajuan yang kian cepat itu. India kelihatannya sudah mencapai momentum itu.
Momentum yang pernah kita capai pada 1970-an yang telah membawa Indonesia ke kemajuan di era 1980-an, tapi kemudian hancur akibat krisis moneter. Lalu momentum itu muncul lagi pada 2000. Tapi, hilang lagi dalam waktu cepat.
Kini kelihatannya gejala momentum itu akan muncul lagi –kali ini mudah-mudahan tidak akan hilang lagi. Momentum yang sama didapat Tiongkok pada 1980 yang kemudian bisa dipegang terus tanpa pernah hilang sampai sekarang. Tiongkok bisa jadi akan kehilangan momentum itu kalau harga minyak dunia yang sudah sempat mencapai USD 146 per barel itu terus melejit hingga USD 200 per barel. Tapi, Tiongkok kelihatannya terhindar dari kehilangan momentum itu karena tanda-tanda ke arah harga minyak yang tak terkendali sudah tidak ada lagi.
Perjuangan menghilangkan sistem kasta memang sudah dilakukan tidak habis-habisnya. Termasuk oleh kalangan Hindu sendiri. Kian lama juga kian banyak kuil yang memperbolehkan kasta terendah masuk ke dalamnya. Agama Hindu Sai Baba, yang di Indonesia banyak juga pengikutnya, termasuk yang tidak setuju adanya pembedaan manusia berdasar kasta. Pemberontakan demi pemberontakan juga terjadi meski memang cukup jarang. Sejak 1700 sampai 1900 terjadi 13 kali pemberontakan besar dari kasta terbawah.
Setelah zaman kemerdekaan gerakan antikasta kian besar. Apalagi setelah 1980-an. Kalau selama 40 tahun setelah kemerdekaan fokus masyarakat India di bidang politik, setelah 1980-an beralih ke soal kasta.
Meski begitu, kalau dilihat apa yang terlihat sekarang, hasil semua gerakan itu masih kurang memadai. Memang ketua Mahkamah Agung India sekarang dijabat seorang Dalit, tapi masih sangat sedikit yang bisa mencapai level atas. Sistem kasta itu rupanya sudah sangat mengakar di tengah masyarakat sehingga begitu sulit menghapuskannya. Padahal, UUD India yang dilahirkan pada 1950 sudah menghapuskan sistem kasta secara resmi.
Yang disebut kasta itu ternyata bukan hanya empat (Brahma, Ksatria, Waisya, dan Sudra) seperti yang kita pelajari dalam buku sejarah di sekolah. Masih ada satu lapisan lagi yang masuk kasta Sudra pun tidak layak. Kasta ini dulu tidak bernama –setidaknya dirinya sendiri tidak pernah memberi nama. Tapi, karena orang di lapisan atasnya harus menyebut mereka, maka nama tidak resmi kemudian lahir.
Banyak sekali sebutan untuk mereka. Kian lama rupanya kian perlu menyeragamkankannya. Maka, disebutlah mereka kaum jembel. Kalangan pejuang dan intelektual modern lantas menyebut mereka ’’kalangan tidak tersentuh kemanusiaan’’. Mahatma Gandhi, sebagai pejuang utama bangsa India, menyebut mereka kaum harijan alias ’’anak-anak Tuhan’’. Tapi terakhir, mereka sendiri, dengan nada memberontak meresmikan nama kelompok mereka dengan sebutan Dalit.
Kalau dulu lapisan atas menyebut nama kelompok mereka itu dengan agak berbisik, kini kelompok itu sendiri yang justru menggunakannya dengan terang-terangan, resmi, dan lantang. Karena sistem demokrasi memungkinkan, belakangan lahir pula partai resmi kelompok ini: Partai Dalit.
Pejuang penghapusan kasta di India yang paling hebat adalah: B.R. Ambedkar. Saking kerasnya orang ini, sampai-sampai Gandhi yang menyebut mereka sebagai ’’anak-anak Tuhan’’ pun dia kecam dan dia musuhi habis-habisan. Sampai ke forum internasional kala itu. Dengan memberi sebutan itu, kata Ambedkar, sama saja Gandhi meresmikan terbentuknya satu kasta lagi di bawah kasta Sudra dengan nama ’’kasta anak-anak Tuhan’’.
Kenyataannya sekarang, 70 persen umat penganut Kristen atau Katolik di India berasal dari kalangan Dalit. Masih terus menjadi pembicaraan apakah hal itu karena Kristen lebih bisa menerima mereka, atau memanfaatkan mereka atau mereka sendiri yang lebih homing berada di sana. Yang masuk Islam atau Buddha juga minim. Mayoritas Dalit yang jumlahnya sekitar 200 juta, masih tetap Hindu. Mereka menyebutkan di Kristen dan Islam, ternyata dalam kenyataan masyarakatnya juga masih menganut kasta, hanya dengan istilah berbeda. Setidaknya begitulah pengataman Ambedkar.
Sampai sekarang dari 156 bishop di sana hanya enam yang dari Dalit. Ambedkar sendiri lahir dari keluarga Dalit. Sejak kecil dia diajari membaca kitab klasik Mahabharata dan Ramayana. Hanya, bapaknya jadi tentara penjajah Inggris. Dengan posisi bapaknya itu, Ambedkar bisa masuk sekolah. Hanya, teman-teman dan gurunya tetap tidak bisa menerima kalau Ambedkar duduk bersama mereka di dalam kelas. Maka bocah Ambedkar mengikuti pelajaran dari luar tembok.
Ambedkar cilik juga tidak bisa minum. Peralatan minum seperti gelas dan keran tidak boleh digunakan untuk orang Dalit. Kalau toh dia harus minum, harus ada seseorang yang mengucurkan air dari atas. Ini agar tangan dan mulut seorang Dalit tidak menyentuh gelas atau ujung keran itu. Dengan cara minum seperti itu, kalau mulut seorang Ambedkar tidak berhasil menangkap air, kesempatan minum pun hilang. Dan tak terulang lagi.
Ambedkar rupanya ’’anak Tuhan’’ yang pandai dari sononya. Meski hanya belajar secara mengintip dari luar kelas, dia selalu lulus dengan amat baik. Mulai SD sampai SMA. Ketika Ambedkar masuk universitas di Bombay, dia anak Dalit pertama yang masuk perguruan tinggi. Penjajah Inggris dengan beasiswa yang minim lantas mengirimnya ke sekolah lebih tinggi di Inggris. Lalu dapat beasiswa juga ke Amerika. Dia belajar apa saja: hukum, sosiologi, bahkan kemudian keuangan. Kembali ke India dia menghadapi kenyataan sosial di masyarakatnya: dikawinkan dengan gadis berumur 9 tahun yang sudah dipersiapkan keluarganya. Tahun itu juga memperoleh anak.
Ambedkar menjadi pejuang hebat untuk kaumnya. Dia membenci apa saja yang ada di sistem sosial India saat itu –awal 1900. Sistem kastanya, sistem keagamaannya, dan bahkan sistem pemerintahannya –meski pemerintah itu yang membuatnya bisa sekolah di Inggris. Di Inggris itulah rupanya dia bersentuhan dengan gerakan baru yang memang lagi hangat di seluruh Eropa: ajaran Karl Marx dan terjadinya revolusi Bolsyewik di Rusia.
Bahkan, ketika istrinya berkali-kali minta izin untuk ziarah ke kuil Pandhapur yang menjadi dambaan hidupnya, Ambedkar tetap tidak mengizinkannya. Ambedkar merasa istrinya hanya akan menjadi korban diskriminasi di kuil itu. ’’Kelak saya akan bikinkan kuil Pandhapur sendiri,’’ katanya kepada istrinya. Sampai istrinya meninggal beberapa tahun kemudian, keinginan ziarah itu tidak terkabul. Kuil yang dijanjikan juga belum terbangun.
Ketika Inggris memberikan kemerdekaan India pada 1947, Ambedkar menjadi ketua tim perumus UUD India. Dia juga pernah jadi ketua parlemen. Fotonya kini abadi menghiasi gedung parlemen India bersama foto Mahatma Gandhi yang pernah dia musuhi itu. Di hari tuanya yang menderita karena diabetes, dia mendalami ajaran Buddha dan resmi masuk agama itu. Kehebohan melanda India karena bersama itu tercatat setengah juta pengagumnya ikut masuk Buddha.
Peristiwa itu pada tahun-tahun berikutnya yang panjang terus memicu ketegangan antara orang Hindu ekstrem dan Buddha ekstrem. Suatu ketika patung Ambedkar tiba-tiba berkalung rentengan sandal jepit. Umat Buddha yang tentu berlatar belakang Dalit tersinggung dan marah. Begitulah ketegangan demi ketegangan masih terus terjadi. Di permukaan maupun di bawahnya.
Namun, dengan demokrasi, semua persoalan menjadi bisa lebih dibuka. Tapi, karena hidup menyebar di banyak negara bagian, mereka tidak kunjung berhasil menang pemilu dan menguasai pemerintahan. Pemilu sistem distrik di India tidak memungkinkan terakumulasinya suara Dalit. Baru tahun lalu Partai Dalit meraih mayoritas di negara bagian Uttarpradesh (bangunan Taj Mahal yang terkenal itu berada di provinsi ini). Maka, kini jabatan menteri besar (setingkat gubernur tapi dengan kekuasaan otonomi yang jauh lebih besar) dipegang tokoh Dalit. Wanita pula. Namanya Mayawati.
Mayawati sebenarnya pernah menjadi presiden di negara bagian dengan penduduk hampir 200 juta jiwa itu (hampir sebesar Indonesia) tiga tahun lalu, tapi hanya sebentar. Tidak sampai satu tahun. Mayawati dijatuhkan lawannya dengan tuduhan korupsi. Kini posisi Mayawati lebih kukuh. Namanya lebih populer (dalam pengertian termasuk membuat heboh) setelah dia mengambil putusan ini: mengangkat Ambedkar sebagai pahlawan resmi negara bagian Uttarpradesh. Belum cukup dengan itu, Mayawati mengangkat Sidharta Gautama –Tuhan yang mahaesa umat Buddha– juga sebagai pahlawan resmi.
Salah satu pemikiran positif kini juga mulai berkembang di India. Para pejuang Dalit yang mulai masuk kalangan politik atas, sudah mau mengubah strategi perjuangan. Mereka umumnya sepakat tidak perlu lagi secara vulgar memperjuangkan kaum Dalit. Hal itu hanya akan sangat sensitif untuk kasta yang di atas yang secara riil masih memegang sistem sosial yang berlaku. Kini para pejuang Dalit hampir sepakat membungkusnya dengan ’’memperjuangkan golongan miskin dari kasta apa pun’’. Dengan demikian, toh kalau berhasil, yang akan paling terangkat adalah kaum Dalit.
Saya kira strategi baru itu memang lebih tepat. Sebab, di luar Dalit masih ada 300-an subkasta yang tergolong sangat miskin. Jumlah mereka ini saja mencapai sekitar 500 juta orang!
Sampai sekarang para peneliti, Barat dan Timur, belum berhasil mengungkap dan menyepakati bagaimana sejarah lahirnya sistem kasta dulu. Dari berbagai literatur yang saya baca, termasuk yang saya pakai untuk bahan-bahan serial tulisan saya ini, tidak ada satu pendapat yang amat kuat mengenai asal-usul sistem kekastaan ini. Sistem empat kasta yang serupa sebenarnya terjadi juga di Iran (agamawan selalu dari kelompok Athravan, militer dari kelompok Rathaestha, pedagang dari kelompok Vastriya dan pekerja/petani dari kelompok Huiti), tapi mengapa hasilnya berbeda.
Ada yang menyebut awal mula terjadinya kasta-kasta itu akibat masuknya orang-orang yang berdarah Indo-Arya ke India dari wilayah barat laut. Inilah kelompok yang kemudian menempatkan diri sebagai lapisan teratas. Kelihatannya agak masuk akal karena selama itu pemilik darah Arya selalu merasa dirinyalah golongan tertinggi di dunia ini. Tapi, ada pendapat bahwa sebelum kedatangan mereka pun sebenarnya sudah ada sistem kasta itu di India Selatan, setidaknya dua kasta terbawah.
Penjajahan Inggris yang panjang (lebih dari dua abad) di India ternyata tidak bisa mengubah sistem ini. Bahkan, malah semacam meresmikannya karena ilmu Barat seperti statistik penduduk memerlukan penyebutan resmi. Bahkan lagi, dalam sistem penjajahan itu, menjadi resmilah bahwa kasta tertentu sama dengan pekerjaan tertentu.
Kini kita menyandarkan harapan pada percepatan kemajuan ekonomi akan mempercepat hilangnya sistem kasta itu. Setidaknya ’’menyembunyikannya’’ ke bawah karpet, sebagaimana di bagian-bagian lain di dunia ini, termasuk di masyarakat kita. Bukankah sikap menggolong-golongkan orang berdasar tuan, pembantu, pegawai, pedagang, dan les miserables (kaum jembel) sebenarnya masih terus terjadi sampai sekarang –termasuk di sekeliling kita sendiri? (*)
Comments