Cito! Cepat Selamatkan
Dulu Bank!
Catatan Dahlan Iskan
TUJUH negara industri terbesar dunia berkumpul hari ini untuk mencari jalan keluar dari krisis moneter yang gawat ini. Tapi, para ahli sangat pesimistis mereka bisa menemukan jalan itu. Sudah begitu banyak masing-masing pemerintah menciptakan paket penyelamatan. Semuanya tidak bisa meredam kemerosotan pasar modal.
Bagi kita di Indonesia, harapan terbesar adalah jangan sampai unsur-unsur di dalam pemerintah berjalan sendiri-sendiri. Apalagi bertengkar. Kita semua tahu bahwa jumlah ahli ekonomi kita bukan hanya sangat banyak, tapi juga aliran ekonomi mereka berbeda-beda. Mulai dari yang beraliran konservatif sampai yang populis. Belum lagi yang menganut aliran sempalan. Masing-masing punya dasar pemikiran sendiri, merasa benar sendiri, dan saling bersikukuh mempertahankannya.
Dalam suasana krisis seperti ini, satu komando sangat diperlukan. Sampai hari ini, saya cukup bangga karena tidak terjadi perbedaan pendapat di antara elite pemerintah yang sampai mencuat ke media. Memang ada desas-desus tentang siapa yang menginginkan Bank Indonesia harus segera intervensi (untuk menstabilkan rupiah) dan siapa yang menentang. Tapi, tidak menjadi perang di bawah permukaan –apalagi di atasnya. Politisi juga cukup dewasa untuk tidak menjadikan masalah krisis sebagai bahan mencari popularitas. Sebagian mungkin memang karena tidak paham akar persoalannya yang rumit, sebagian karena rakyat juga sudah sangat dewasa. Politisi yang memanfaatkan krisis ini untuk popularitasnya justru akan dicela rakyat.
Saya amati rakyat di semua negara memang sangat kompak untuk membela negara masing-masing, lepas apakah pemerintahnya dari partai yang mereka dukung atau tidak.
***
Hari ini, pemerintah pertama-tama harus kompak dalam menyelamatkan sistem perbankan nasional kita. Nasabah dan rakyat harus ditenangkan dengan policy yang jelas dan tegas. Yang terpenting, antara lain, adalah memberikan penjaminan deposito dan tabungan masyarakat.
Saya percaya penjaminan itu tidak akan berbuntut panjang seperti saat krisis dulu. Sebab, perbankan nasional kita sekarang sudah sangat dewasa. Semua negara melakukan langkah ini meski ahli ekonomi yang menganut aliran konservatif tidak akan setuju. Teoretis, sebenarnya tidak perlu ada rush. Tapi, ketidakpercayaan masyarakat pada sistem keuangan hari-hari ini bisa membuat bank yang lagi bersaing saling menyebarkan isu rush. Yang mula-mula hanya isu bisa terjadi sungguhan. Ini sangat membahayakan sistem perbankan kita.
Kalau sistem perbankan ambruk, ekonomi akan runtuh. Rakyat akan sengsara.
Nomor satukan penyelamatan perbankan nasional kita. Gunakan semua dana penjaminan yang selama ini dikumpulkan oleh bank di rekening khusus penjaminan itu. Maksimumkan upaya ini, mumpung ini hari Sabtu. Umumkan pagi ini juga bahwa semua deposito dan tabungan dijamin pemerintah. Jangan terlambat! Kita lagi bersaing dengan kecepatan beredarnya SMS dan telepon seluler.
***
Ini persoalan dunia yang kompleksnya bukan main. Perusahaan yang terlibat derivatif lagi bertumbangan. Cobalah kita bayangkan perusahaan yang enam bulan lalu membeli minyak dengan harga USD 130 per barel. Tentu, hari ini, perusahaan tersebut belum menerima minyaknya karena dua hal. Pertama, harga itu memang untuk penyerahan minyak enam bulan kemudian. Kedua, tujuan pembeli minyak itu memang bukan untuk memiliki minyak, tapi hanya untuk menjual ”hak” atas minyak itu saja. Yang membeli ”hak” itu pun hanya ingin menjual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Yang sudah dapat harga lebih tinggi itu pun masih ingin menjual lagi ke harga yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. Minyak yang mungkin berjumlah 1 juta barel itu seolah-olah sudah menjadi 10 juta barel di pasaran.
Triliunan dolar derivatif yang menyangkut minyak ini akan memakan korban luar biasa besar. Sudah akan mengalahkan nilai kredit macet subprime mortgage yang mengawali krisis ini.
Seminggu yang lalu, harga minyak tinggal 100 dolar per barel. Anda bayangkan berapa besar kerugian perusahaan yang membeli minyak dengan harga 130 dolar itu. Membelinya pasti dengan kredit. Kini, pasti kreditnya macet. Kredit yang macet bukan sebesar harga 1 juta barel, mungkin sampai lebih 10 juta barel. Sebab, minyak tersebut sudah diderivatifkan: future, hedging, option, equity swap, dan seterusnya.
Bahkan, dengan harga minyak kemarin menjadi serendah 80 dolar/barel, tingkat kemacetan pasti kian luas lagi. Maka, kinilah saatnya harga minyak akan menjadi normal sewajarnya lagi, sekitar USD 60 atau 70 dolar per barel. Kenapa harga ini normal? Sebab, biaya produksi minyak itu hanya sekitar 35 dolar per barel. Ditambah macam-macam, termasuk mahalnya investasi, jatuhnya sekitar 50 per barel. Maka, laba 30 persen adalah bisnis yang wajar. Tapi, dengan harga minyak 140 dolar per barel dan dengan biaya produksi yang tetap, bisnis ini bisa mencapai laba 300 persen. Kata ”rakus” saya kira kurang kasar. Tentu ada yang murka.
Gambaran seperti itulah yang juga terjadi di bisnis jasa keuangan. Semua pedagang di Pintu Kecil Jakarta atau Kembang Jepun di Surabaya tentu tahu bahwa laba normal bisnis jasa itu sekitar 2,5 persen. Mengapa? Bisnis jasa itu tidak perlu modal besar dan risikonya kecil. Wajar kalau labanya lebih kecil. Yang penting volumenya sangat besar dan perputarannya cepat. Memang sesekali bisnis jasa bisa dapat laba 30 persen, tapi sifatnya harus hanya ”sesekali”. Misalnya kalau pas lagi ada nasib baik. Satu atau dua hari. Setelah itu akan normal lagi ke laba 2,5 persen. Bahkan, kadang, laba 0,5 persen pun sering dijalani asal cash flow-nya baik.
Tapi, coba perhatikan perusahaan-perusahaan jasa keuangan dalam 10 tahun terakhir ini. Labanya bisa 30 persen. Bahkan bisa 60 persen! Ini juga rakus. Total sedunia, laba jasa keuangan ini menguasai 40 persen dari laba seluruh sektor usaha. Sedang sektor industri kurang dari 20 persen. Padahal, laba sektor industrilah yang seharusnya lebih tinggi. Sunnatullah-nya harus begitu. Sebab, di sektor industrilah orang harus benar-benar bekerja: tanam modal, membeli bahan baku, menjual bahan jadi, mengurus buruh, dan seterusnya. Benar-benar bekerja mengeluarkan keringat. Bagaimana bisa laba industri kalah oleh laba sektor jasa? Tentu ada yang murka.
Dunia secara alamiah akan kembali ke situasi 12 atau 15 tahun yang lalu. Bagi kita, 12 tahun yang lalu tidak terlalu jelek.
Asal sistem perbankan kita diselamatkan lebih dulu! Hari ini juga! Ibarat seorang dokter yang kedatangan pasien gawat, sang dokter akan langsung menulis di resepnya: cito! Bukan main urgennya. Seumpama di apotek ada antrean panjang pun, pemegang resep cito! harus langsung dilayani dulu. (*)
Comments