Photo Abdurahman Taib pegang Pistol FN saat reka ulang
Photo Fraouk Arnaz-jpnn
------------------------------------
Mengikuti Perjalanan Rekonstruksi Jaringan Teroris Palembang (2-Habis)
----------------------------
Belajar Bom, Syaratnya tak Boleh Tanya Asal Guru
---------------
Gairah beribadah membuat lima pelaku teror Palembang terperosok di balik terali besi. Bayangkan, dalam tiga bulan, mereka sudah punya keahlian merakit bom. Siapa yang harus bertanggung jawab?
Farouk-Tommy-Mahmud, Palembang
Keterlibatan Abdurrahman Taib (35), dalam jaringan teror Pelembang mengagetkan sejumlah pelanggannya. Maklum anak pensiunan PT Telkom yang tak pernah mondok itu lebih dikenal sebagai juru obat alternatif. "Saya sering keliling kampung mengobati orang dengan bacaan ruqyah," katanya usai rekonstruksi Selasa lalu (23/10). Dari aktivitasnya itulah dia mulai dilabeli sebutan baru: ustad. Padahal dia merasa pengetahuannya akan Islam masih dangkal.
Aktivitasnya terus berkembang termasuk aktif di Forum Anti-Permurtadan (Fakta), Palembang. Dia aktif memegang kendali di urusan komunikasi. "Namun Fakta tak ada kaitannya dengan kasus ini," tegasnya, kepada koran ini.
Dari Fakta, Abdurrahman yang aktif berdakwah ke pelosok-pelosok kampung akhirnya berkenalan dengan Ustad Ani Sugandhi (42). Sugandhi yang juga telah ditangkap polisi, awal Juli adalah alumnus Afghanistan tahun 87-92 dan salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Al-Fuqon Baitussuffah Blok G, Bami Arjo, Lempuing, OKI.
"Saya yang belum jauh ilmunya, mengikuti Ustad Gandi," imbuhnya. Padahal, Abdurrahman dituakan oleh empat orang rekannya yang lain, yakni Agustiawarman, Wahyudi, Heri Purwanto, dan Sugiarto. Akibatnya, mereka berempat pun turut bersama Abdurrahman mengaji di Ustad Gandhi. Hubungan Abdurrahman bahkan lebih jauh lagi. Dia pernah berangkat ke Kroya, Jawa Tengah untuk mengambil bahan peledak dan sebuah pistol FN. Namun dia tak mengenal siapa orang yang memberinya itu.
Pistol itulah yang dibawa ke mana-mana dirinya pergi. Mengapa tidak menembak saat ditangkap polisi? "Jujur, saya belum pernah meletuskan peluru. Belum pernah menembak," jawabnya kalem.
Dibandingkan dengan pelaku yang lain, Abdurrahman yang fasih berbahasa Jawa, karena orangtuanya berdarah Jawa, memang paling kalem. Dia tidak menyebut kelompoknya sebagai mujahid. Bapak lima orang anak itu merasa masih beruntung ditangkap polisi karena tidak ada korban jiwa yang sempat
jatuh akibat ulah kelompoknya.
"Ruginya kami di penjara. Umpamanya, kami ini masih jauh dari Amrozi, tapi kami sama-sama disebut teroris," ujarnya, lalu tersenyum.
Saat ditanya apakah ada penyesalan dengan keterlibatannya itu, lulusan SMA di Palembang itu menjawab, "Menyesal atau tidak itu biar menjadi urusan di dalam hati saja." Penyesalan Abdurrahman memang tidak diungkapkan secara verbal seperti empat anak buahnya yang lain.
Seperti Agustiawarman (26), misalnya. "Kita ini ngikuti saja. Kalau
misalnya (dulu) kenalnya Aa Gym, ya saya pakai surban saja," katanya. Selain Ustad Gandi, dia mengatakan pengaruh Hasan alias Fajar Taslim cukup kuat bagi kelompoknya. Hasan adalah warga Singapura yang menjadi buron dinegerinya karena tersangkut Jamaah Islamiyah. Pada Januari 2002 lalu Hasan lari ke Indonesia bersama dengan Husaini dan Mas Slamet Kastari.
"Saya ini selalu tertarik dengan dalil yang pas. Saya ingin berbuat untuk Islam," lanjut pegawai Bapas, Palembang itu. Sebenarnya, jika bisa memilih, Agus ingin menegakkan Islam dengan cara yang lebih damai. "Saya sebenarnya tak terlalu frontal karena iman ini kadang naik, kadang turun," akunya. Dia mengagumi pola perjuangan yang dilakukan Jamaah Tabligh yang keluar (khuruj) dan menetap di sebuah tempat untuk berdakwah.
Di saat masing 'kosong' pemahaman agama itulah kelima orang ini mudah
dibelokkan dengan paham kekerasan. Doktrinasi idiologi ditambah sikap taqlid (ikut dan patuh) kepada sang ustad membuat paham itu seperti benih yang ditabur di atas tanah subur. Dengan pemahaman begitu, mereka dengan semangat ijtihad (bersungguh-sungguh), membuat mereka berlatih merakit bom. Mereka ingin memerangi kelompok kelompok yang banyak menodai umat Islam.
Sugiarto (21), misalnya, terpilih menjadi ahli rakit bom dalam kelompok tanpa nama itu. "Tiga bulan belajarnya," imbuh anggota termuda jaringan teror Palembang itu. Anak kedua dari empat bersaudara ini berasal dari keluarga yang mapan. Ayahnya seorang petani karet dan padi. Di rumahnya, di Ogan Komering Ulu Timur, Sumsel, terdapat teve 29 inch yang tersambung dengan parabola. Dia duduk di semester VII Fakultas Tarbiyah, jurusan bahasa Arab, IAIN Raden Fatah Palembang. Makanya, dibanding empat rekannya yang lain, Sugi satu-satunya yang fasih mengutip ayat-ayat Alquran.
Siapa yang mengajarkan membuat bom? "Namanya Ustad A (sengaja diinisial
karena masih buron, Red). Dari logatnya, dia orang Jawa," jawabnya.
Sugi bertemu dengan ustad A, yang mengaku dari Ambon, di kediaman
ustad Gandi pada tahun 2006. Pelajaran membuat bom diisi dengan syarat: tak boleh bertanya asal dan muasal sang guru. Hingga ditangkap polisi pada 1 Juli lalu, Sugi berhasil merakit 20 bom siap ledak. Padahal dia hanya bermodal yakin dan sedikit keahlian di bidang elektronika.
"Hingga kini pun belum tahu bagaimana efek ledakannya karena belum
ada yang meledak. Tapi lebihlah dari sekadar busss," ujarnya, lalu tertawa. Dia lalu menyebut komposisi dan campuran bom-bom mautnya itu. Semuanya di luar kepala. Dia juga mampu menerangkan detail bagaimana rangkaian elektronik itu disusun beserta cara pengaktifannya. Di dalam bom maut itu ada yang diisi dengan anak peluru—bukan bola besi atau gotri— sehingga lebih mematikan. Sebagai pembuat, Sugi tak tahu akan dibuat apakah bom-bom itu.
Seorang penyidik yang menangani kasus ini mengatakan terungkapnya jaringan Palembang membuka mata jika Indonesia menjadi ladang subur bagi gerakan teror. Di negeri ini ada sejarah panjang sekelompok orang yang bercita-cita mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) atau kekhalifahan yang tak menampik cara-cara kekerasan.
"Makanya, begitu gerakan itu bertemu dengan orang-orang seperti
kelompok Palembang, kolaborasi akan terjadi. Lantas ini semua jadi tanggung jawab siapa?," katanya.
Menurutnya polisi tidak bisa
bekerja sendiri dalam perang melawan teror. Perang melawan ideologi yang tak akan pernah berhenti, pun kendati pelakunya sudah mendekam di balik terali besi. (***)
Comments