* Catatan Dahlan Iskan tentang Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (1)
Transaksi Opium dan Senjata
di Bawah Pohon Ratusan Tahun
Selama tiga hari, Dahlan Iskan ikut dalam misi mempelajari perubahan drastis yang terjadi di wilayah Golden Triangle yang pernah dikenal sebagai pusat opium dunia di pegunungan sekitar perbatasan Thailand-Burma-Laos itu. Seorang Ibu Suri yang jadi inspirasinya. Berikut tulisan bersambungnya:
-------------------
”Di sini ini! .... Di sini, dulu, pasar senjata gelap dan opium itu,” ujar Khun Chai sambil menggelendeng tangan saya ke bawah sebuah pohon besar di pinggir jalan beraspal di pegunungan Doi Tung, perbatasan segitiga Thailand, Burma (Myanmar), dan Laos Kamis lalu. ”Pohon besar ini sangat bersejarah,” ujar Khun Chai. Pohon inilah yang pernah jadi ”ibu kota” wilayah istimewa yang dulu amat terkenal dengan sebutan Golden Triangle. Yakni, satu wilayah ”pertigaan” yang mampu memasok 70 persen opium dunia.
Saya mendongakkan kepala. Pohon itu sangat tinggi, gagah, rimbun, dan umurnya sudah ratusan tahun. Saya menatap pucuknya, ingin mendapatkan pembenaran dari kesaksian bisunya. Tapi, pohon itu terlalu tinggi untuk ditanya. Hanya, kegagahan batangnya dan kerimbunan daunnya memang seperti backing yang kuat untuk sebuah kejahatan legendaris yang menghancurkan kehidupan manusia.
”Ini pohon fiq,” ujar Khun Chai, keluarga kerajaan Thailand yang seumur hidupnya menjadi sekretaris Ibu Suri, yakni ibu dari raja Thailand sekarang. ”Dulu, orang datang ke bawah pohon ini untuk menjual opium dan membeli senjata. Juga peluru,” ujarnya. ”M-16 harganya 3.000 bath. Satu peluru 2 bath (sekitar Rp700),” tambahnya. Pasar di sini cukup ramai –untuk ukuran pasar opium dan senjata. Jumlah pengunjungnya sekitar 3.000 orang per tahun.
Pasar gelap itu kini sudah tidak ada lagi. Ini karena di wilayah itu sudah tidak ada lagi satu pun batang opium. Semua pabrik candu juga sudah tutup. Berbagai kejahatan dan kekerasan sudah hilang sama sekali. Jalan kecil berlumpur di dekat pohon itu sudah berubah menjadi jalan beraspal selebar 8 meter. Bahkan, pegunungan Doi Tung kini sudah jadi salah satu pusat wisata Thailand. ”Tahun lalu sudah satu juta orang berwisata ke sini,” ujar Khun Chai.
Semua petani yang dulu menanam opium berubah total: tidak terbelit kemiskinan lagi. Ladang-ladang opium sudah berubah jadi perkebunan teh, ladang kopi, hutan macadamia, atau kebun bunga. Tapi, perubahan itu tidak dilakukan dengan mudah. Ini karena dalam proses perubahan itu Khun Chai menghindari jauh-jauh model paksaan, kekerasan, serbuan, atau perang bersenjata.
Pendekatan pokoknya adalah ”merebut hati rakyat dan mengisi perut mereka”. Kiat ini, setelah berhasil diterapkan di Doi Tung, panen pujian dari dunia, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Apalagi, ketika berhasil diterapkan sekali lagi di wilayah Myanmar. Bahkan, Khun Chai kini diminta lagi menerapkan kiatnya itu untuk mengatasi persoalan di negara yang lebih berat: Afghanistan. Lalu diminta pula turun tangan di Aceh Besar. Dan permintaan berikutnya sudah antre: Vietnam.
”Semua persoalan itu bermula dari kemiskinan,” ujar Khun Chai menyimpulkan penyebab ruwetnya urusan di Golden Triangle. ”Apakah itu persoalan opium, kriminalitas, pelacuran, kerusakan lingkungan, bahkan terorisme sekalipun,” tambahnya.
Khun Chai sudah membuktikan bisa mengatasi semua itu dengan kiat soft power-nya: tidak pernah mencela kehidupan lama, tidak pernah memojokkan orang, tidak pernah merusak opium mereka, tidak pernah memusuhi pedagang senjata –apalagi memerangi mereka secara bersenjata pula. Yang dia lakukan adalah ”merebut hati dan perut” mereka.
Khun Chai orang yang sangat menarik. Umurnya hampir 70 tahun, tapi energiknya luar biasa. Penampilannya sangat sederhana. Jiwa melayaninya lahir batin. Hanya dengan mengenakan kaus dan jaket, dia menjemput sendiri rombongan dari Indonesia di tangga pesawat yang mendarat di Bandara Chiang Rai. Rombongan ini cukup besar. Dari Badan Narkotika Nasional (BNN) ada Irjen Gories Mere, Brigjen Surya Darma, Komjen (Purn) Ahwil Luthan, dan beberapa orang lagi. Dari tim ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) ada Brigjen Pol Bambang Banu Saputro yang amat gelisah atas rusaknya lingkungan di kawasan pertambangan (batu bara dan tambang apa saja) yang ada di bawah ESDM. Dari Artha Graha Peduli lengkap diikuti seluruh direksi dan direktur anak-anak perusahaannya, bahkan dipimpin Tomy Winata sendiri. BNN dan Artha Graha Peduli memang punya proyek kerja sama membangun pusat rehabilitasi korban narkotik di Pulau Seribu.
Khun Chai lalu mengantar rombongan ke Doi Tung, sekitar satu jam perjalanan ke arah utara. Di sini, di pegunungan dekat perbatasan Myanmar yang udaranya dingin ini, rombongan menginap. Besoknya Khun Chai mengantar peninjauan ke wilayah-wilayah ladang opium di masa lalu yang jaraknya masih tiga jam lagi. Hari kedua dan ketiga masih mengantar ke gunung-gunung yang lebih tinggi.
Malam hari rombongan mendiskusikan sistem ”merebut hati dan mengisi perut rakyat” yang dilakukan Khun Chai. Termasuk membahas mengapa proyek ini bisa berjalan dan berhasil. Dengan antusias Khun Chai menjawab pertanyaan bertubi-tubi. Termasuk menunjukkan di mana sebenarnya pusat perdagangan opium itu dulu: di bawah pohon fiq itu.
Pemandangan sepanjang perjalanan dari gunung ke lembah dan dari lembah ke gunung ini sudah berbeda sama sekali dari masa ketika wilayah golden triangle masih jadi sumber opium dunia. Yakni, ketika angkatan bersenjata dan kepolisian tidak berdaya atas kekuasaan pasukan bersenjata sindikat narkotika internasional. Melihat medannya yang sulit memang tidak gampang mengontrol wilayah seperti ini –apalagi kalau kekuatan resmi itu sendiri berhasil dibina sindikat.
Ternyata Khun Chai punya cara lain untuk mengontrolnya. Tanpa kekuatan bersenjata sama sekali: hanya dengan kekuatan hati.
Melihat keadaan Doi Tung sekarang, memang tak terbayangkan bahwa wilayah ini dulu begitu seram, misterius, dan berbahaya. Begitu tidak berdayanya negara saat itu sampai-sampai kalah dengan mafia, gangster, dan jaringan narkotika internasional. Upaya melawannya pun sudah dilakukan dengan banyak cara. Menyerang dan membasmi. Terbuka dan tertutup. Secara intelijen sudah tidak kurang hebatnya: ”orang-orang CIA, FBI, dan apa saja sudah lama menyusup ke sini,” ujar Khun Chai. Toh mereka gagal total. Kontak-kontak senjata yang pernah terjadi juga hanya menimbulkan banyak korban.
Sebuah kecurigaan ternyata hanya menimbulkan kebencian. Persenjataan ternyata hanya menimbulkan perlawanan. Hati ternyata harus diper-hati-kan dengan hati. Mulut harus disambung dengan perut. Dan Khun Chai, atas nama Ibu Suri Kerajaan Muangthai, dengan Yayasan Mae Fah Luangnya membuktikan semua itu di Doi Tung ini. (Bersambung)
Comments