Penulis Tetap Sumatera Ekspres

Gagalnya

Penyederhanaan

Partai

Prof. Amzulian Rifai,Ph.D

Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Pascasarjana UNSRI

Partai yang sederhana dipercaya mempermudah pelaksanaan pemilihan. Kesederhanaan itu antara lain lewat jumlah partai yang tak terlalu banyak. Negara-negara ”kampiun” demokrasi seperti AS dan Australia saja cuma didominasi dua partai saja. Indonesia memiliki 34 parpol. Kini, meningkat dibandingkan Pemilu 2004 yang hanya 24 partai. Mengapa dan apa implikasi kegagalan penyederhaan partai ini?

SECARA teori eksistensi suatu partai di negara demokrasi sangatlah relevan. Justru keberadaan multi partai sebagai salah satu ciri demokratisnya suatu negara. Ini dapat dimaklumi karena partai memiliki peran yang strategis sebagai penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Partai juga memiliki fungsi ideal untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat luas sesuai dengan basis massanya.

Idealnya, minimal ada tiga fungsi partai politik. Pertama, berfungsi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Ini terjadi dikarenakan peran strategis partai dalam kehidupan bernegara. Mereka memiliki posisi strategis dalam berbagai kiprahnya. Tengok saja visi-misi suatu partai politik hampir dipastikan mengusung dan mengatasnamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Fungsi ideal kedua adalah sebagai sarana pendidikan politik. Artinya, partai memberikan pendidikan kepada

masyarakat tentang tata cara berpolitik. Fungsi ideal ketiga partai adalah sebagai sarana rekrutmen politik. Artinya, suatu partai politik sebagai wadah bagi anggota masyarakat yang memiliki talenta dan minat di bidang politik. Bukan main ideal dan strategisnya fungsi suatu partai politik. Kita dapat berdiskusi dan berdebat panjang soal realitanya.

Kini sudah pasti jumlah partai peserta pemilu 2009 menjadi 34, meningkat dari jumlah peserta pemilu 2004 yang hanya 24 partai. Padahal, banyak yang menginginkan adanya penyederhanaan jumlah partai di Indonesia yang telah terlalu banyak. Bagi para pemakarsa partai jelas berbahagia dengan kepastian ini. Apalagi KPU telah mengundi nomor urut ke-34 partai itu. Malah ”partai-partai baru” memperoleh nomor urut kecil. Minimal lima pertama. Tengok saja nomor urut 1 didapat oleh Partai Hanura yang dimotori Wiranto. Memang tidak otomatis bakal menang dalam pemilu, namun secara psikologis angka ini jelas menambah kepercayaan diri.

Ada beberapa sebab mengapa negeri ini gagal menyederhanakan jumlah partai. Pertama, dikarenakan adanya kompromi di DPR. Ini disebabkan partai yang saat ini memiliki kursi di DPR secara otomatis dapat menjadi peserta pemilu. Padahal undang-undang mensyaratkan suatu partai baru dapat mengikuti pemilu apabila memperoleh setidak-tidaknya 3% dari jumlah kursi di parlemen. Namun DPR membuat suatu keputusan yang sangat mengejutkan meloloskan semua partai yang punya kursi di DPR hasil pemilu 2004 sebagai peserta pemilu 2009. Syarat persentase diabaikan. Tak pula perlu verifikasi. Ini artinya ada 16 parpol yang lewat jalan toll, bebas hambatan.

Tindakan “kompromi” di DPR ini, secara normatif jelas melanggar peraturan perundang-undangan. Dalam UU Pemilu Pasal 9 Ayat 1 (a) disebutkan bahwa untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR.

Selanjutnya dalam Ayat 2 Pasal 9 itu menyebutkan bahwa partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila bergabung dengan partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan, atau bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi, atau bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi. Apa boleh buat, lagi-lagi kita dipertontonkan pada suatu kompromi politik yang menabrak aturan hukum.

Penyebab lainnya karena KPU dan pemerintah dinilai agak longgar dalam melakukan verifikasi. Kita mungkin sefaham bahwa sebagai bagian dari demokrasi, negara tidak bisa secara semena-mena membatasi seseorang atau suatu kelompok untuk mendirikan partai. Namun, jika pendirian partai terlalu mudah tidak juga menghasilkan sesuatu yang baik. Itu sebabnya verifikasi partai baik oleh Depkum HAM maupun oleh KPU menjadi sangat penting.

Idealnya pemerintah dan KPU melakukan verifikasi untuk menentukan kelayakan partai politik mengikuti pemilu. Semua kegiatan verifikasi ini memerlukan waktu panjang, karena jumlah partai politik yang meminta verifikasi cukup banyak. Selain itu verifikasi partai politik oleh Departemen Hukum dan HAM sebaiknya dilakukan terhadap semua cabang semua partai politik di seluruh Indonesia. Cara acak yang digunakan pada pemilu-pemilu yang lalu ternyata tidak mencerminkan kelayakan sejumlah partai politik menjadi partai politik dan peserta pemilu. Apakah proses ini telah dilakukan secara ketat dan objektif tanpa kompromi?

Mestinya pemerintah secara cermat menentukan yang mana dari sejumlah organisasi tersebut layak menjadi partai politik berdasarkan data nyata perkembangan keorganisasian masing-masing di seluruh Indonesia. Verifikasi seperti ini memakan waktu, dana, dan tenaga besar. Tapi demi perbaikan kehidupan kepartaian kita, verifikasi dengan cara sensus harus digunakan. Dengan cara tersebut kita bisa memperoleh keyakinan bahwa partai-partai politik yang ikut pemilu sungguh layak sebagai partai politik dan peserta pemilu.

Tadinya, dengan verifikasi yang ketat terhadap partai akan membantu mengurangi jumlah partai politik. Soalnya, partai politik cukup banyak menjadi masalah politik di Indonesia. Walaupun dalam system kita sekarang ini, siapapun tidak boleh membubarkan dan membatasi pembentukan partai politik. Verifikasi oleh pemerintah dan KPU adalah salah satu cara yang tepat untuk mengurangi jumlah partai secara sah. Banyak yang menilai tahapan-tahapan verifikasi tersebut belum dilakukan secara ketat. Akibatnya, terlalu banyak partai yang dinyatakan lolos. Belum lagi kemungkinan adanya permainan dalam proses verifikasi diberbagai daerah yang menjadikan partai itu mendapatkan penilai “layak.” Hasilnya, kini rakyat harus menentukan pilihan terhadap 34 partai.

Kita boleh berdebat soal implikasi pemilu di Indonesia dengan 34 partai. Perdebatan itu bisa beragam. Mulai dari kualitas pemilihan hingga ke soal-soal teknis. Namun harus dicatat bahwa sebagian besar pemilih kita adalah orang-orang sederhana dengan ciri khasnya masing-masing. Sebagian besar masyarakat kita tinggal dipedesaan dengan berbagai kesederhanaannya. Membuka kertas suara dengan 34 tanda gambar tentu bukan hal yang sederhana bagi banyak orang desa. Bukan hanya angka, gambar ”yang macam-macam” juga telah cukup membingungkan bagi rakyat kebanyakan. Lantas harus mencoblos yang mana?

Dalam kondisi bingung ini, boleh jadi mereka menjatuhkan pilihan hanya kepada partai yang telah lama mereka kenal sebelumnya. Padahal, partai-partai baru yang tak mereka kenal belum tentu partai yang jelek. Walhasil, mata pemilih lebih tertuju pada partai-partai yang lebih dahulu eksis. Jika tidak tentulah mereka ”asal memilih” dan tidak begitu memahami apa yang menjadi tujuan partai tersebut. Tidak hanya itu boleh jadi mereka bersikap asal mencoblos saja. Itupun jika melakukan pencoblosan yang benar.

Seandainya, ada kebingungan dalam menentukan pilihan terhadap 34 partai ini berbaur dengan jumlah Golput yang cenderung tinggi, lantas apa rupanya pemilu di negeri ini dari aspek kualitas? Berbagai catatan menunjukkan persentase Golput diberbagai daerah tergolong tinggi dalam berbagai pemilihan. Rata-rata nasional Golput adalah 22%. Walaupun, Golput juga beragam. Ada golput teknis, administratif dan politis. Jika kualitas yang menjadi concern kita, maka pihak terkait harus mengatur langkah antisipatif agar kekhawatiran ini tidak terjadi.

Kita tidak mengelak ada kebebasan setiap warga negara untuk mendirikan partai politik. Ini konsekuensi negeri yang demokratis. Namun, harus dicatat bahwa negeri yang demokratis tidak otomatis ”dibanjiri” oleh partai politik. Partai yang banyak tidaklah menjamin kualitas demokrasinya baik. Apa jadinya jika jumlah partai yang besar justru melahirkan budaya berpolitik yang salah. Artinya, mayoritas politikus membentuk partai dengan segala tariannya. Sedangkan rakyat yang dituju yang itu-itu juga. Walhasil, rakyat juga berpolitik dengan domain sendiri. Seandainya berpolitik sehat yang dipraktekkan, tentu tak masalah. Tapi jika massive politics tadi diboncengi kepentingan materi sendiri-sendiri, tentulah jelek untuk negeri ini. Wajar kalau bagi sebagian orang, kegagalan menyederhanakan partai pada pemilu 2009 cukup mengkhawatirkan.(*)

Comments